loading…
“Saya yakin kedaulatan pangan kita tidak akan pernah terwujud apabila komponennya tidak dipersiapkan. Komponen yang sudah disiapkan juga tidak akan jalan kalau secara teknis perda atau regulasi dibawah UU itu tidak dibuat,” ujar Ono dalam keterangannya, Jumat (12/6/2020).
Ono menjelaskan masalah alih fungsi lahan bisa terjadi karena faktor internal yang dihadapi para petani. Terutama terkait harga tanah yang dinamis dan tingginya biaya produksi bertani sedangkan hasilnya tidak seberapa.
“Mungkin dari sisi harga jual tanah yang setiap tahun itu dinamis. Kedua, petani juga banyak keluhan tentang cost produksi yang tinggi, hasil panen sedikit, sehingga pada akhirnya dia lebih memilih untuk menjual lahan atau lebih memilih beralih ke usaha yang lain,” jelasnya.
Di sisi lain, katanya, regenerasi petani juga mandeg. Rata-rata usia petani sudah tidak muda lagi, dan anak petani tidak ingin meneruskan usaha orang tuanya.
“Saat ini petani itu sudah usia tua, tidak ada regenerasi ke anak-anak mereka. Karena anak-anak petani itu lebih memilih untuk bekerja di Alfamart, di pabrik-pabrik, atau di sektor lain,” tuturnya.
Ketua DPD PDIP Jawa Barat ini menyatakan perpaduan beberapa hal tersebut mendorong petani untuk menjual tanahnya. Untuk itu, menurut Kang Ono sapaan akrabnya, perlu ada intervensi pemerintah kepada petani guna mencegah alih fungsi lahan ini.
“Misalnya setelah ditetapkan satu daerah ini tidak boleh dialih fungsikan ke hal apapun, tapi insentif kepada petani harus dipastikan. Pertama insentif fasilitas infrastruktur pertanian harus terselesaikan, saluran irigasi, dan persoalan air harus menjadi kebutuhan yang utama,” terang politisi yang juga Ketua bidang Buruh, Tani dan Nelayan DPP BMI ini.
“Kedua, harus ada insentif untuk mengurangi cost produksi, dari mulai benih, pupuk, termasuk misalnya membuat program pasca panen, termasuk memasarkan produksi hasil pertanian itu juga,” lanjutnya.
Lebih jauh Kang Ono menganggap, permasalahan ini terjadi karena belum adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Instrumen hukum memang sudah ada, tapi eksekusi di lapangannya belum terealisasi sepenuhnya.
“Sebenarnya kita sudah punya undang-undang untuk mengatasi alih fungsi lahan itu. Tetapi pada praktiknya UU itu kan harus disesuaikan dengan Perda RTRW atau Rencana Tata Ruang wilayah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten,” kata Kang Ono.
“Nah, yang jadi permasalahan lagi sampai saat ini bisa dikatakan belum ada Perda sebagai turunan UU No 41 Tahun 2009 itu,” lanjutnya.
Ke depan, menurutnya, pemerintah harus melakukan sinkronisasi aturan agar instrumen hukum untuk mencegah alih fungsi lahan itu bisa dieksekusi hingga ke daerah. Bagaimanapun, menurut Ono, aturan hukum harus dilaksanakan karena sifatnya memaksa (coercion). (Baca juga: Keren, Tiga Kabupaten Ini Atasi Dampak Corona Berdasarkan Data dari Kampung
“Jadi menurut saya harus ada koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan Kabupaten/kota, termasuk mengintervensi. Bicara UU kan sifatnya memaksa, dan provinsi dan kabupaten kota wajib mengikutinya,” pungkasnya.
(kri)
Leave a Reply